Sabtu, 06 Agustus 2011

Duka Sang Ibu dan Mimpi Ayah (Cerpen Coba-Coba)

Duka Sang Ibu dan Mimpi Ayah
(Renny Rusniawati)

Dua gadis kecil itu berlari-lari kesana-kemari, menendang-nendang bola plastik yang baru saja dibeli ayahnya dari seorang pedagang di pinggir jalan. Ayah dan ibunya tertawa-tawa menyaksikan kedua puterinya bermain dengan riang. Alun-alun kota Ciamis sore itu tampak lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena sore itu langit tak menampakkan tanda-tanda akan menumpahkan air hujan.
Tari dan Rahma, nama dua gadis kecil itu.
“Ayaaah! Sini, main sama Lahma, sama Kak Talii!” Teriak Rahma dengan suara khas anak kecil-nya. Bunyi “r” nya belum jelas betul.
“Ayaah, Ibuu, sinii!” Teriak Tari.
“Ayah kenapa?” tanya sang ibu ketika melihat suaminya tiba-tiba memegangi kepalanya, seperti tengah menahan sakit.
“Tidak apa-apa, Bu. Ayah hanya sakit kepala sedikit.”
“Sebaiknya kita pulang sekarang, Yah.”
“Tidak, Bu. Anak-anak sepertinya masih asyik bermain, kasihan kalau kita ajak mereka pulang sekarang.”
Sang ayah masih menguatkan dirinya untuk berada di tempat keramaian itu. Sekuat tenaga ditahannya rasa sakit yang entah sejak kapan menyerangnya. Ingin rasanya dia beristirahat di rumah. Tapi melihat kebahagiaan kedua puterinya, rasa sakitnya serasa terobati.
“Ayah, wajah ayat pucat. Kita pulang sekarang, ya?”
Mau tidak mau, kali ini sang ayah menyerah. Rasa sakitnya tak dapat ditahan lagi.
“Tariii, Rahmaaa, pulang sekarang, yuk!” teriak sang ibu.
Tari dan Rahma berlari-lari kecil menghampiri ayah dan ibunya. Pulanglah mereka dengan menumpang sebuah angkutan umum.
Sesampainya di rumah, sang ayah memilih untuk beristirahat di sofa, sementara sang ibu melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Tari masuk ke kamarnya, mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan gurunya tadi siang dan mempersiapkan buku-buku untuk sekolah besok. Sedangkan Rahma, si bungsu, masih berlari-lari kesana-kemari, ke dapur, ke kamar Tari, ke sofa tempat ayahnya beristirahat, ke dapur lagi, kembali lagi menghampiri ayahnya, duduk di pangkuannya. Tangan mungilnya meraih remote di meja, lalu menekan tombol power menyalakan televisi. Layar berukuran 14 inch itu kemudian menampilkan gambar-gambar binatang, acara favorit Rahma. Mulutnya yang mungil terus berceloteh riang menyaksikan gambar-gambar di hadapannya, sementara sang ayah tersenyum mendengar celotehan-celotehan lucunya, walaupun rasa sakit itu semakin menyerang.
“Ayah, itu binatang apa?” tanya Rahma ketika layar televisi menampilkan gambar seekor binatang berukuran besar.
Tak ada jawaban dari mulut sang ayah.
“Ayah, itu apa?” tanya Rahma lagi, semakin merajuk. Tapi tetap tidak ada jawaban.
“Ayah, kok Ayah diam aja? Ayah bobok, ya?”
“Ibuu, Ayah bobok. Ibuu, Ayah bobok!” Gadis kecil itu berteriak-teriak memanggil ibunya yang tengah berada di dapur. Sang ibu lari tergopoh-gopoh mendengar teriakan puteri bungsunya.
“Ada apa, Rahma Sayang? Kenapa teriak-teriak?” tanya sang ibu sambil meraih Rahma ke dalam pangkuannya.
“Ayah bobok, Bu.”
“Ayah, tidurnya di kamar, jangan di sini,” pelan sang ibu membangunkan suaminya. Ditepuk-tepuknya pipi suaminya, pelan. Tak ada jawaban, suaminya tak juga membuka matanya. Yang terdengar hanyalah suara erangan, seperti tengah menahan sakit.
“Ayah, kenapa?” tanya sang ibu, mulai panik.
“Tari! Panggil Pak Didi, Nak! Ayahmu sakit.”
Tari bergegas pergi ke rumah sebelah, memanggil sang pemilik rumah. Tak lama berselang, Tari tiba bersama seorang bapak paruh baya.
“Ada apa, Bu?’ tanya sang tetangga.
“Suami saya sakit, Pak. Tolong!” jawab sang ibu, semakin panik.
“Pak, kenapa, Pak? Bangun, Pak!” sang tetangga menepuk-nepuk bahu sang ayah pelan.
“Tolong buatkan air gula merah, Bu. Sepertinya Bapak merasakan pusing,” kata sang tetangga. Sang ibu bergegas melangkah ke dapur, memenuhi permintaannya.
Beberapa saat kemudian, sang tetangga meminumkan air itu kepada sang ayah. Satu sendok, dua sendok, tiga sendok, sang ayah tak menampakkan kesembuhan. Tiba-tiba...
“Bu, titip anak-anak. Ayah sayang kalian,” bisik sang ayah di telinga isterinya. Setelah itu, mata sang ayah tak pernah terbuka lagi.
Sang ibu tak dapat menahan tangis lagi. Air matanya terus menetes menganak sungai di pipinya yang lembut. Usia sang ayah saat itu baru akan 35, dan sang ibu 31. Sulit diterima, usia 31 tahun sudah menyandang predikat janda. Ditatapnya kedua puteri kecilnya. Tari, si sulung, baru berusia 7 tahun, sedangkan Rahma, si bungsu, baru 3 tahun. Hatinya bertambah pilu menyaksikan kedua puterinya menjadi anak yatim di usia sekecil itu. Dalam tangisnya, ia masih bisa mendengar suara si bungsu yang semakin menyayat hatinya, “Bu, malam ini Lahma mau bobok sama Ayah. Lahma sayang Ayah.”
Air mata sang ibu mengucur semakin deras, tak tahu apa yang harus dikatakannya kepada kedua puterinya. Tari mungkin sudah bisa mengerti kenapa ayahnya pergi, tapi Rahma? Apa yang harus dikatakannya kepada anak bungsunya? Sedangkan dia tahu selama ini Rahma sangat dekat dengan ayahnya, tidak bisa tidur tanpa kehadiran ayahnya.
“Bu, kenapa banyak olang? Ayah kok bobok telus? Lahma mau digendong Ayah.”
Disertai tangis yang membuncah, sang ibu berkata, “Ayah sudah pergi, Sayang. Ayah sudah tenang. Ayah pergi ke surga.”
“Surga itu apa, Bu?”
Kali ini sang ibu tak bisa menjawab pertanyaan anak bungsunya. Tubuhnya ambruk, seorang wanita paruh baya yang berada di sampingnya dengan sigap menangkap tubuh Rahma yang berada dalam gendongan sang ibu. Sejak saat itu, Rahma tak pernah mengerti kenapa ayahnya dibawa pergi oleh banyak orang dan tidak pernah kembali lagi.
***
Tujuh belas tahun telah berlalu. Tanggal 15 Agustus 1994 lalu adalah hari terberat yang dihadapi sang ibu dan keluarganya, kehilangan seorang imam yang selama itu selalu menjadi pahlawan bagi mereka. Dan selama tujuh belas tahun pula dia bekerja banting tulang untuk menghidupi kedua puterinya, Tari dan Rahma. Perjuangannya tak sia-sia, karena kedua puterinya berhasil membuatnya bangga dan seperti menjadi ibu paling bahagia di dunia. Sejak SD sampai SMP, Tari selalu menjadi juara kelas, serta lulus SMA dengan hasil yang memuaskan dan menyelesaikan studinya di Fakultas Keguruan dengan IPK tinggi. Dan Rahma, puteri bungsunya, berhasil membuatnya bangga dengan karya-karya tulisnya yang berhasil menembus berbagai media sejak SMP. Saat ini, dia menyaksikan puteri bungsunya berdiri di atas panggung, menerima penghargaan sebagai juara lomba karya tulis ilmiah yang diadakan oleh sebuah universitas terkemuka di Indonesia. Jilbab panjangnya bergerak-gerak tertiup angin yang keluar dari AC ruangan itu.
“Seandainya ayahmu ada di sini, dia pasti bangga melihatmu, Rahma. Kau mewarisi bakat ayahmu. Dulu dia ingin sekali mendapatkan penghargaan ini, dan sekarang kau berhasil mewujudkan mimpi ayahmu. Terima kasih, Rahma,” bisik sang ibu di telinga Rahma.
Sejak saat itu, Rahma mulai bisa mengerti kenapa ayahnya seperti selalu berada di dekatnya, mengikuti kemana pun dia melangkah. Ya, mungkin ayahnya ingin dia mewujudkan mimpinya yang belum pernah terwujud.
“Ayah, Rahma berhasil mewujudkan mimpimu. Terima kasih atas dukunganmu selama ini.”
Sang ibu memeluk tubuh Rahma seperti tujuh belas tahun yang lalu. Air matanya masih menetes, air mata bahagia. Di sela-sela isak tangisnya, ia seperti melihat sang ayah berdiri di pojok ruangan, melambaikan tangan ke arah mereka.
***
Ciamis, 29 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar