Selasa, 19 Juni 2012

Melukis Pelangi Diantara Sejuta Pelangi

Apa yang akan kamu lakukan jika kesempatan yang kamu tunggu sejak lama telah sampai di depan mata, tapi kamu tak bisa memenuhi kesempatan itu? Kalau ditanya seperti itu, saya akan menjawab: KECEWA. Ya, kecewa sudah pasti. Tapi, saya yakin di balik semua ini tersimpan rencana-Nya yang lebih indah. Jika ditanya apa yang paling saya inginkan saat ini, saya ingin besok segala aktivitas formal diliburkan. Saya ingin kembali ke Tasikmalaya, kota yang menjadi saksi bisu segala suka-duka, keluh-kesah saya selama ini. Saya ingin memenuhi harapan yang telah lama saya tunggu, Melukis Pelangi diantara Sejuta Pelangi.

Rabu, 30 Mei 2012

Mengamati Dinding Kamar

Malam ini, udara begitu dingin, padahal adzan isya baru saja berkumandang (apa hubungannya udara dingin dengan adzan isya?). Ditemani benda canggih berukuran 10.1" ini, mataku tertuju pada secarik kertas di dinding kamar, "Dreams Come True". Bukan, ini bukan daftar mimpi yang sudah menjadi nyata, tapi daftar mimpi yang belum terealisasi. Memang ada beberapa point yang sudah terwujud, tapi selebihnya (sebagian besar)belum tersentuh tinta merah sedikit pun. Salah satu point yang tertulis di sana adalah: "Menjadi Penulis". Ya, mimpi yang muncul sejak SMP itu masih berputar-putar di otakku. Delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi pijakanku masih di tempat yang sama. Kadang terlintas dalam pikiran, bagaimana mau menjadi penulis sementara tidak ada usaha untuk mencapainya? Sebenarnya bukan tanpa usaha, tapi rasa pesimis itu selalu menghantui kapan saja. Yang harus kulakukan sekarang adalah berlatih secara rutin, bersungguh-sungguh untuk menggapai mimpi, dan yang paling penting adalah meminta kepada Rajanya Penulis, Sang Penulis Alam Semesta, Allah swt.

Selasa, 29 Mei 2012

Nampaknya jemari ini lebih tertarik untuk menari-nari di atas keyboard daripada memain-mainkan benda tabung kurus di hadapannya, dan bola mata ini lebih tertarik untuk menatap layar berukuran 10" daripada mengamati benda tipis berwarna putih di sampingnya.

Minggu, 18 Desember 2011

Children from Heaven

Children from heaven. Begitulah aku lebih senang menyebut mereka, anak-anak dari surga. Betapa polosnya, betapa jujurnya, betapa... betapa... Ah, betapa luar biasanya mereka. Sebuah sekolah kecil namun luar biasa, dengan guru yang luar biasa pula. Sabar, telaten, pantang menyerah. 26 November 2011 aku bertemu mereka. Tiga puluh satu jumlahnya, dan empat diantaranya membuatku terharu. Kurnia, anak perempuan delapan tahun itu mengidap epilepsi sekaligus tunagrahita ringan, namun dengan riangnya, mulutnya terus mengeluarkan alunan nada-nada indah. Memang tak seindah finalis Idola Cilik, tapi bagiku indah sekali. Perlahan tangannya bergerak mengikuti irama. Ah, sungguh mengharukan. Vina, perempuan sembilan belas tahun dengan gejala tuna grahita sedang. Telah bertahun-tahun sekolah di sana, namun baru bisa membaca belakangan ini. Selalu ada senyum di bibirnya. Sebagai seorang gadis 'dewasa', ia juga memiliki perasaan. Dengan polosnya, ia mengaku menyukai Pak Tian, salah satu guru di sana. Lucu sekali. Fahmi Azis Mubarak, laki-laki sembilan belas tahun dengan gejala tuna rungu. Tinggi, putih, dan... ehm, lumayan. Sama sekali tidak menyangka kalau ia murid SLB. Melihatnya, seperti mengingatkan kita bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Di usia yang seharusnya menginjak bangku kuliah, ia baru masuk tingkat SMP. Hobinya bermain bulu tangkis, bahkan pernah menjadi juara (entah tingkat apa, lupa). Dengan kekurangannya, ia ternyata memiliki kelebihan yang luar biasa. Yang terakhir, Ahmad Syaripudin, biasa dipanggil Aip. Anak sebelas tahun dengan gejala tuna grahita berat. Kebiasaannya meniru apa pun yang terjadi di sekitarnya. Ketika masuk kelas, dengan akrabnya dia menyalamiku dan tiba-tiba memanggilku "Teh Ia". Usut punya usut, katanya aku mirip kakaknya yang bekerja di Purwakarta, karena sama-sama berkacamata. Ah, mungkin ia merindukan kakaknya. Benar-benar mengharukan. Sungguh anak-anak luar biasa. Diantara kekurangan yang mereka miliki, ternyata tersimpan segudang potensi. Mereka mampu membuat kerajinan tangan yang aku pun tak mungkin terpikirkan. Indah sekali. Tapi, ada satu statement yang membuatku terkaget-kaget. Seorang anak berkata terang-terangan, "Guru SD mah galak." Ya, ia pernah sekolah di SD selama tiga tahun, dan mungkin mengalami sesuatu yang 'kurang nyaman'. Tapi percayalah, kami tak seperti yang kaupikirkan.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Untukmu yang Berulang Tahun Dua Hari yang Lalu

20 Juli 1991, dua puluh tahun lebih tiga bulan yang lalu, aku terlahir ke dunia, dan kau menyambut hadirku dengan suka cita. Walau tak tahu, tapi rasaku berkata begitu. Ya, masih kuingat, tiap hari tak ingin kutidur bersama ibu, inginnya bersamamu. Pagi datang, kausambut diriku dengan senyum hangatmu.
15 Agustus 1994, wajahmu tampak teramat lelah, rasaku berkata begitu. Namun ,masih kausempatkan mengajak anak-anakmu bersuka ria di taman kota.
15 Agustus 1994 menjelang adzan Maghrib berkumandang, wajahmu semakin layu, namun masih kautahan diriku duduk di pangkuanmu. Beberapa menit setelah itu, kau resmi tinggalkanku.
28 Oktober 2011, tujuh belas tahun sudah kepergianmu. Kini tak ada lagi senyum hangatmu, tak ada lagi canda tawamu, tak ada lagi gelak tawamu. Tapi kau tetap hidup dalam otakku, rasaku berkata begitu. Selamat ulang tahun, semoga kau bahagia di sisi-Nya. Kuyakin, Dia menyayangimu lebih dari siapa pun.
30 Oktober 2011, Untukmu yang berulang tahun dua hari yang lalu. Love you, Ayah.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Duka Sang Ibu dan Mimpi Ayah (Cerpen Coba-Coba)

Duka Sang Ibu dan Mimpi Ayah
(Renny Rusniawati)

Dua gadis kecil itu berlari-lari kesana-kemari, menendang-nendang bola plastik yang baru saja dibeli ayahnya dari seorang pedagang di pinggir jalan. Ayah dan ibunya tertawa-tawa menyaksikan kedua puterinya bermain dengan riang. Alun-alun kota Ciamis sore itu tampak lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena sore itu langit tak menampakkan tanda-tanda akan menumpahkan air hujan.
Tari dan Rahma, nama dua gadis kecil itu.
“Ayaaah! Sini, main sama Lahma, sama Kak Talii!” Teriak Rahma dengan suara khas anak kecil-nya. Bunyi “r” nya belum jelas betul.
“Ayaah, Ibuu, sinii!” Teriak Tari.
“Ayah kenapa?” tanya sang ibu ketika melihat suaminya tiba-tiba memegangi kepalanya, seperti tengah menahan sakit.
“Tidak apa-apa, Bu. Ayah hanya sakit kepala sedikit.”
“Sebaiknya kita pulang sekarang, Yah.”
“Tidak, Bu. Anak-anak sepertinya masih asyik bermain, kasihan kalau kita ajak mereka pulang sekarang.”
Sang ayah masih menguatkan dirinya untuk berada di tempat keramaian itu. Sekuat tenaga ditahannya rasa sakit yang entah sejak kapan menyerangnya. Ingin rasanya dia beristirahat di rumah. Tapi melihat kebahagiaan kedua puterinya, rasa sakitnya serasa terobati.
“Ayah, wajah ayat pucat. Kita pulang sekarang, ya?”
Mau tidak mau, kali ini sang ayah menyerah. Rasa sakitnya tak dapat ditahan lagi.
“Tariii, Rahmaaa, pulang sekarang, yuk!” teriak sang ibu.
Tari dan Rahma berlari-lari kecil menghampiri ayah dan ibunya. Pulanglah mereka dengan menumpang sebuah angkutan umum.
Sesampainya di rumah, sang ayah memilih untuk beristirahat di sofa, sementara sang ibu melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Tari masuk ke kamarnya, mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan gurunya tadi siang dan mempersiapkan buku-buku untuk sekolah besok. Sedangkan Rahma, si bungsu, masih berlari-lari kesana-kemari, ke dapur, ke kamar Tari, ke sofa tempat ayahnya beristirahat, ke dapur lagi, kembali lagi menghampiri ayahnya, duduk di pangkuannya. Tangan mungilnya meraih remote di meja, lalu menekan tombol power menyalakan televisi. Layar berukuran 14 inch itu kemudian menampilkan gambar-gambar binatang, acara favorit Rahma. Mulutnya yang mungil terus berceloteh riang menyaksikan gambar-gambar di hadapannya, sementara sang ayah tersenyum mendengar celotehan-celotehan lucunya, walaupun rasa sakit itu semakin menyerang.
“Ayah, itu binatang apa?” tanya Rahma ketika layar televisi menampilkan gambar seekor binatang berukuran besar.
Tak ada jawaban dari mulut sang ayah.
“Ayah, itu apa?” tanya Rahma lagi, semakin merajuk. Tapi tetap tidak ada jawaban.
“Ayah, kok Ayah diam aja? Ayah bobok, ya?”
“Ibuu, Ayah bobok. Ibuu, Ayah bobok!” Gadis kecil itu berteriak-teriak memanggil ibunya yang tengah berada di dapur. Sang ibu lari tergopoh-gopoh mendengar teriakan puteri bungsunya.
“Ada apa, Rahma Sayang? Kenapa teriak-teriak?” tanya sang ibu sambil meraih Rahma ke dalam pangkuannya.
“Ayah bobok, Bu.”
“Ayah, tidurnya di kamar, jangan di sini,” pelan sang ibu membangunkan suaminya. Ditepuk-tepuknya pipi suaminya, pelan. Tak ada jawaban, suaminya tak juga membuka matanya. Yang terdengar hanyalah suara erangan, seperti tengah menahan sakit.
“Ayah, kenapa?” tanya sang ibu, mulai panik.
“Tari! Panggil Pak Didi, Nak! Ayahmu sakit.”
Tari bergegas pergi ke rumah sebelah, memanggil sang pemilik rumah. Tak lama berselang, Tari tiba bersama seorang bapak paruh baya.
“Ada apa, Bu?’ tanya sang tetangga.
“Suami saya sakit, Pak. Tolong!” jawab sang ibu, semakin panik.
“Pak, kenapa, Pak? Bangun, Pak!” sang tetangga menepuk-nepuk bahu sang ayah pelan.
“Tolong buatkan air gula merah, Bu. Sepertinya Bapak merasakan pusing,” kata sang tetangga. Sang ibu bergegas melangkah ke dapur, memenuhi permintaannya.
Beberapa saat kemudian, sang tetangga meminumkan air itu kepada sang ayah. Satu sendok, dua sendok, tiga sendok, sang ayah tak menampakkan kesembuhan. Tiba-tiba...
“Bu, titip anak-anak. Ayah sayang kalian,” bisik sang ayah di telinga isterinya. Setelah itu, mata sang ayah tak pernah terbuka lagi.
Sang ibu tak dapat menahan tangis lagi. Air matanya terus menetes menganak sungai di pipinya yang lembut. Usia sang ayah saat itu baru akan 35, dan sang ibu 31. Sulit diterima, usia 31 tahun sudah menyandang predikat janda. Ditatapnya kedua puteri kecilnya. Tari, si sulung, baru berusia 7 tahun, sedangkan Rahma, si bungsu, baru 3 tahun. Hatinya bertambah pilu menyaksikan kedua puterinya menjadi anak yatim di usia sekecil itu. Dalam tangisnya, ia masih bisa mendengar suara si bungsu yang semakin menyayat hatinya, “Bu, malam ini Lahma mau bobok sama Ayah. Lahma sayang Ayah.”
Air mata sang ibu mengucur semakin deras, tak tahu apa yang harus dikatakannya kepada kedua puterinya. Tari mungkin sudah bisa mengerti kenapa ayahnya pergi, tapi Rahma? Apa yang harus dikatakannya kepada anak bungsunya? Sedangkan dia tahu selama ini Rahma sangat dekat dengan ayahnya, tidak bisa tidur tanpa kehadiran ayahnya.
“Bu, kenapa banyak olang? Ayah kok bobok telus? Lahma mau digendong Ayah.”
Disertai tangis yang membuncah, sang ibu berkata, “Ayah sudah pergi, Sayang. Ayah sudah tenang. Ayah pergi ke surga.”
“Surga itu apa, Bu?”
Kali ini sang ibu tak bisa menjawab pertanyaan anak bungsunya. Tubuhnya ambruk, seorang wanita paruh baya yang berada di sampingnya dengan sigap menangkap tubuh Rahma yang berada dalam gendongan sang ibu. Sejak saat itu, Rahma tak pernah mengerti kenapa ayahnya dibawa pergi oleh banyak orang dan tidak pernah kembali lagi.
***
Tujuh belas tahun telah berlalu. Tanggal 15 Agustus 1994 lalu adalah hari terberat yang dihadapi sang ibu dan keluarganya, kehilangan seorang imam yang selama itu selalu menjadi pahlawan bagi mereka. Dan selama tujuh belas tahun pula dia bekerja banting tulang untuk menghidupi kedua puterinya, Tari dan Rahma. Perjuangannya tak sia-sia, karena kedua puterinya berhasil membuatnya bangga dan seperti menjadi ibu paling bahagia di dunia. Sejak SD sampai SMP, Tari selalu menjadi juara kelas, serta lulus SMA dengan hasil yang memuaskan dan menyelesaikan studinya di Fakultas Keguruan dengan IPK tinggi. Dan Rahma, puteri bungsunya, berhasil membuatnya bangga dengan karya-karya tulisnya yang berhasil menembus berbagai media sejak SMP. Saat ini, dia menyaksikan puteri bungsunya berdiri di atas panggung, menerima penghargaan sebagai juara lomba karya tulis ilmiah yang diadakan oleh sebuah universitas terkemuka di Indonesia. Jilbab panjangnya bergerak-gerak tertiup angin yang keluar dari AC ruangan itu.
“Seandainya ayahmu ada di sini, dia pasti bangga melihatmu, Rahma. Kau mewarisi bakat ayahmu. Dulu dia ingin sekali mendapatkan penghargaan ini, dan sekarang kau berhasil mewujudkan mimpi ayahmu. Terima kasih, Rahma,” bisik sang ibu di telinga Rahma.
Sejak saat itu, Rahma mulai bisa mengerti kenapa ayahnya seperti selalu berada di dekatnya, mengikuti kemana pun dia melangkah. Ya, mungkin ayahnya ingin dia mewujudkan mimpinya yang belum pernah terwujud.
“Ayah, Rahma berhasil mewujudkan mimpimu. Terima kasih atas dukunganmu selama ini.”
Sang ibu memeluk tubuh Rahma seperti tujuh belas tahun yang lalu. Air matanya masih menetes, air mata bahagia. Di sela-sela isak tangisnya, ia seperti melihat sang ayah berdiri di pojok ruangan, melambaikan tangan ke arah mereka.
***
Ciamis, 29 Juni 2011

Sabtu, 04 Juni 2011

dudung.net

Di Kala Ragu Akan Dirinya
(Copas dari dudung.net)

Ya Allah...
Seandainya telah Engkau catatkan
dia akan mejadi teman menapaki hidup
Satukanlah hatinya dengan hatiku
Titipkanlah kebahagiaan diantara kami
Agar kemesraan itu abadi
Dan ya Allah... ya Tuhanku yang Maha Mengasihi
Seiringkanlah kami melayari hidup ini
Ke tepian yang sejahtera dan abadi

Tetapi ya Allah...
Seandainya telah Engkau takdirkan...
...Dia bukan milikku
Bawalah ia jauh dari pandanganku
Luputkanlah ia dari ingatanku
Ambillah kebahagiaan ketika dia ada disisiku

Dan peliharalah aku dari kekecewaan
Serta ya Allah ya Tuhanku yang Maha Mengerti...
Berikanlah aku kekuatan
Melontar bayangannya jauh ke dada langit
Hilang bersama senja nan merah
Agarku bisa berbahagia walaupun tanpa bersama dengannya

Dan ya Allah yang tercinta...
Gantikanlah yang telah hilang
Tumbuhkanlah kembali yang telah patah
Walaupun tidak sama dengan dirinya....

Ya Allah ya Tuhanku...
Pasrahkanlah aku dengan takdirMu
Sesungguhnya apa yang telah Engkau takdirkan
Adalah yang terbaik buatku
Karena Engkau Maha Mengetahui
Segala yang terbaik buat hambaMu ini

Ya Allah...
Cukuplah Engkau saja yang menjadi pemeliharaku
Di dunia dan di akhirat
Dengarlah rintihan dari hambaMu yang daif ini

----------------------------------------
Jangan Engkau biarkan aku sendirian
Di dunia ini maupun di akhirat
----------------------------------------

Menjuruskan aku ke arah kemaksiatan dan kemungkaran
Maka kurniakanlah aku seorang pasangan yang beriman
Supaya aku dan dia dapat membina kesejahteraan hidup
Ke jalan yang Engkau ridhai
Dan kurniakanlah padaku keturunan yang soleh

Amin... Ya Rabbal 'Alamin